Selasa, 22 November 2011

Pemberontak Jadi Pahlawan                                  
Kehilangan Jejak Sjafruddin di Anyer

Masyarakat Banten banyak yang terheran-heran Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai pahlawan nasional atas usul Pemerintah Banten. Banyak warga Banten beranggapan Sjafruddin merupakan orang Minangkabau, Sumatera.

Sesungguhnya pria yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 ini kelahiran Banten. Sjafruddin lahir di Anyer Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911.

Ayah Sjafruddin Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten. Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh praja Banten.

Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang.

Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Perang Paderi ini terkenal dengan pemimpinnya Tuanku Imam Bonjol. Setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan dibuang ke Banten.

"Sutan Alam Intan adalah orang pertama yang datang ke Anyer, Banten karena dibuang setelah ditangkap Belanda," kata ahli sejarah Nadjamudin Busro. Nadjamudin menikah dengan keponakan Sjafruddin.

Sutan Alam Intan ini lalu menikah dengan seorang wanita bangsawan keturunan Kasultaan Banten. Dari hasil pernikahannya itu lalu lahirlah kakek Sjafruddin.

Dari keluarganya, darah Sjafrudin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Sjafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi.

Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut.

Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Sjafrudin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten. Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak Sjafruddin di kota Jawara tersebut.

"Di sini tidak dikenal. Lah dia saja belajar Islam bukan di Banten, tapi belajar Islam di Sumatera Barat sampai dewasa dan memimpin PDRI dan PRRI saat itu," terang Nadjmudin.

Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.

"Ketika ada pemberian gelar pahlawan itu banyak juga masyarakat kaget ada orang Banten (Safruddin) mendapatkan gelar itu," kata pengamat politik dan pengajar di FISIP Universitas Tirtayasa Serang, Gandung Ismanto.

Sejumlah pegawai di Kelurahan Cikoneng, Anyer Kidul, Serang misalnya banyak yang tidak tahu sosok Sjafruddin. Pegawai lainnya mengatakan baru tahu soal Sjafruddin setelah membaca berita soal penghargaan pahlawan nasional.

"Karenanya apresiasi masyarakat Banten atas penghargaan ini kurang begitu disambut meriah, kecuali keluarga sendiri, keturunan Kasultanan Banten, masyarat elitnya atau pemerintah daerah Banten sendiri," ungkap Gandung.

Hanya saja, sejak adanya pemberitaan pemberian gelar pahlawan nasional itu, tidak sedikit masyarakat Banten saat ini mencari tahu informasi soal sosok Sjafruddin. "Selama ini memori orang Banten lebih hafal dengan legenda soal Kasultanan Banten dan yang lainnya. Nah, sekarang mereka tahu ada putra Banten yang mendapatkan gelar pahlawan nasional, justru ini membangkitkan dan menambah semangat tersendiri," ujar Gandung.

Selain itu, ketidaktahuan masyarakat juga diakibatkan lamanya sosok Sjafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika dijebloskan penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno.

Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancin emosi masyarakat. Khutbah Sjafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik.

Hingga kini belum diketahui langkah Pemerintah Provinsi Banten dalam menyambut pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada putra asal Banten ini. "Ibu (Ratu Atut Chosiyah) sedang di Jakarta mengikuti rapat," kata salah satu ajudan Gubernur Banten.

Sementara staf Humas Pemprov Banten bernama Ferry mengakui, Gubernur Banten memang akan membuat kebijakan tersendiri terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin. "Tapi Gubernur sedang tidak ada di sini. Beliau masih ada tugas ke Jakarta. Yang jelas kita bergembira akhirnya ada putra Banten yang menjadi pahlawan nasional," terangnya.

detiknews.com