Rabu, 16 November 2011


Diprediksi 2012 Jakarta Tenggelam !!!

Tanah Jakarta sudah ambles di mana-mana. Secara perlahan tapi pasti Jakarta bakal tenggelam. Bahkan diramal musibah itu akan segera menimpa Jakarta. Diprediksi pada 2012, Jakarta tenggelam.

Penurunan muka tanah akan menyebabkan khususnya Jakarta Utara berada di bawah permukaan air laut. Di sisi lain, perubahan iklim global menciptakan air pasang atau rob, sehingga membuat permukaan tanah terendam air.

Sementara pada tahun 2012 bakal terjadi banjir yang lebih besar, mengingat curah air hujan yang tinggi di musim penghujan tahun depan.

"Ketika laju penurunan muka tanah kita terus tidak terkendali, jika tidak segera ditangani, kota ini akan tenggelam secara perlahan dan pasti," kata Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute Firdaus Ali.

Guna mengatasi persoalan itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengebut penyelesaian proyek pembuatan Kanal Banjir Timur dan Barat. Namun, ini dirasakan tidak akan menyelesaikan persoalan, khususnya masalah banjir di tengah ibukota.

Pemerintah pun dituntut untuk membuat program mencegah banjir secara terpadu, khususnya dengan daerah penyangga lainnya di Bodetabek. Salah satunya membuat Tanggul Raksasa di kawasan Pantai Utara. Pembangunan tanggul raksasa di Pantura adalah program jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah.

"Secara paralel, pemakaian air tanah juga harus dikurangi, untuk kemudian dihentikan. Untuk itu penyediaan air bersih perpipaan yang menjangkau seluruh warga menjadi prioritas juga," kata Sawarendro, Deputy Representative Bos Wittenveteen, salah satu perusaan anggota Konsorsium Jakarta Coals Defence Strategy (JCDS).

Untuk program jangka pendek dan menengah dalam penangulangan banjir di Jakarta tetap harus terus dilaksanakan. Misalnya, sosialisasi pembangunan sistem folder, normalisasi sungai, perbaikan saluran drainase, penyelesaian BKT, perbaikan institusional dan peningkatan peran masyarakat dalam penanggulangan banjir.

Jakarta merupakan kawasan delta berdataran rendah, di mana sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut, tidak akan pernah secara mutlak bebas dari ancaman banjir. “Perjuangan untuk mengamankan wilayah yang rendah ini adalah perjuangan yang tidak henti hentinya,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Ubaidillah juga mengatakan, bukan tidak ada solusi mengatasi penurunan permukaan tanah atau land subsidence dan banjir tersebut. Namun persoalan saat ini adalah cara pandang yang keliru terhadap tata kelola sumberdaya air.

"Saat ini, air tidak lagi dipandang sebagai sumber yang potensial, tapi dianggap dan diperlakukan sebagai penyebab bencana," papar Ubaidillah.

Tidak aneh saat ini yang terjadi adalah bagaimana membuang air hujan sebesar-besarnya air ke laut. Padahal, air harus dikelola untuk menempati ruang yang semestinya guna memenuhi sirkulasi cadangan air bawah tanah, menjadi cadangan sumber air baku untuk air minum dan pertanian serta kebutuhan lainnya.

"Saat ini air sulit meresap ke dalam tanah, karena sebagian besar lahan di Jakarta penuh dengan bangunan beton dan aspal," tegasnya.

Masalah gawat lainnya yakni, prosentase ruang terbuka hijau (RTH) yang sangat kecil yaitu sekitar 9 persen. Padahal, bila mengacu kepada UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, setiap daerah provinsi wajib mengalokasikan 30 persen lahannya untuk RTH.

RTH ini sangat berguna sekali untuk menyerap air hujan yang di Jakarta curahnya mencapai rata-rata 2 miliar per tahun. Tapi karena lahannya yang disiapkan cuma 9 %, maka curah hujan yang mampu diserap tanah hanya 26 persen.

"Karena itu di satu sisi Jakarta kebanjiran dan di sisi lain juga mengalami krisis air bersih, karena tidak sebanding antara air hujan yang terserap dengan air tanah yang habis disedot," imbuhnya.

Untuk mencegah banjir yang menenggelamkan Jakarta, ada tiga hal serius yang bisa dilakukan.

Pertama, perbaikan dan menormalisasi saluran air, baik mikro maupun makro, termasuk badan-badan air seperti 13 sungai, 48 situ dan 2 kanal yang berada di DKI Jakarta.

Kedua, penataan kawasan pesisir, yaitu merevitalisasi pantai Jakarta secara keseluruhan dengan memproyeksikan alokasi peruntukan bagi lahan konservasi secara proporsional, sepertiga atau 30 peresen dari luas atau panjang garis pantai wajib diperuntukan bagi kawasan konservasi mangrove atau pohon bakau.

Ketiga adalah terkait dengan resapan air. Minimnya RTH sebagai resapan air hujan, perlu disiasati cara efektif untuk menampung air hujan seperti kewajiban membuat lubang biopori bagi pemukiman dan sumur resapan bagi bangunan gedung.

Kewajiban membuat dan memiliki sumur resapan telah diatur sejak 20 tahun yang lalu dengan diberlakukannya Surat Keputusan (SK) Gubernur No 17 Tahun 1992 tentang Sumur Resapan. SK ini pun lalu direvisi dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 115 Tahun 2001 dan Pergub DKI Jakarta No 68 Tahun 2005 tentang Sumur Resapan.

"Namun hingga kini kewajiban tersebut tidak ditaati oleh para pengembang dan penanggung jawab usaha," tegas Ubaidillah.

BPLHD DKI Jakarta sebenarnya telah menertibkan industry yang memiliki sumur bawah tanah ilegal. Sumur ini antara lain milik PT Centek di Ciracas, di mana dari enam sumur yang dimiliki, dua di antaranya ilegal. BPLHD langsung mengecor sumur ini agar tidak dipergunakan lagi.

Kemudian PT Puncak Gunung Mas, dari 3 unit sumur, dua di antaranya juga dicor karena tak berijin. Selain itu, Estetika Laundri di Jl H Baping Ciracas, satu unit sumurnya dicor dan terakhir di RS Harapan Bunda Ciracas, sedikitnya ada tiga sumur yang dicor.

Mereka telah melanggar Perda nomor 10 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Air Bawah Tanah Permukaan," ujar Kepala Bidang Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan.

Namun harus diingat pencegahan Jakarta tenggelam tidak bisa hanya diserahkan pada pemprov semata, tapi juga harus dilakukan pemerintah pusat karena Jakarta merupakan ibukota negara ini. Pemerintah bisa belajar pada upaya Meksiko yang sukses mencegah kotanya ambles dan tenggelam.

"Tapi pencegahan ini bukan cuma tugas pemerintah, tapi tugas kita semua, dunia usaha dan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute Firdaus Ali. 

detiknews.com